(Sumber inspirasi, Lukas 5:1-11)
Setelah berpuasa selama 40 hari dan malam, Yesus dicobai iblis. Di padang gurun yang garang, Yesus dihadapkan pada tawaran untuk menyenangkan diri. Pilihan untuk mengenyangkan perut, memiliki kekayaan dan kekuasaan ditolaknya. Yesus menolak secara tegas dengan mengedepankan otonomi Ilahi. Tawaran duniawi adalah tawaran sesaat dan dapat menjatuhkan pamor seorang Mesias. Yesus berusaha mempertahankan kewibawaan diri agar tidak dirasuki tawaran duniawi yang mencoba membelokkan arah dan misi kehadiran Mesias.
Menolak tawaran setan tidak berarti Yesus merasa lepas-bebas dan steril dari godaan, melainkan godaan-godaan berikutnya terus mengalir. “Semakin kita membentengi diri maka semakin gencar serangan musuh terhadap benteng itu.” Yesus tidak bisa membentengi diri dari pelbagai serangan dan tawaran. Satu hal perlu dipelajari dari Yesus adalah sikap teguh pada pendirian dan selektif terhadap pilihan-pilihan yang menggoda itu.
Banyak godaan yang muncul dalam masyarakat modern ini. Menggiurkan memang tawaran itu. Tetapi di sini, kita perlu membangun suatu ketegasan diri dalam menentukan pilihan yang lebih berpihak pada Yesus Kristus. Hidup yang kita jalani ini penuh dengan tawaran dan godaan-godaan yang memikat, sebuah kehidupan di gurun perjuangan. Di padang gurun yang luas dan garang ini kita dengan bebas menatap tawaran itu sembari menentukan pilihan untuk setia pada jalan Kristus atau meninggalkan-Nya untuk membangun kesenangan baru, jauh dari sentuhan kasih Allah?
Terkadang kita memburu kesenangan duniawi yang melenakan. Uang atau pun materi yang terus dikejar sepanjang waktu. Kuasa dan jabatan terus dilirik sebagai alamat terakhir menduduki kursi-kursi kekuasaan yang cenderung manipulatif. Uang, kuasa dan jabatan dibutuhkan dalam hidup ini tetapi yang lebih ditekankan adalah bagaimana kita menempatkan pelbagai tawaran itu dengan spirit baru, sebagai upaya dalam membangun keadaban publik. Uang, kuasa dan jabatan digunakan sebagai sarana yang mendukung hidup dan bukannya menguasai hidup ini. Gereja mengajak kita untuk memasuki masa pra-paskah, masa tobat. Dalam terang iman, masa pra-paskah lebih dilihat sebagai “ruang penggodokan” nurani untuk berani melihat diri dan pola-laku hidup. Apakah saya lebih mementingkan kesenangan pribadi dan mengabaikan Allah di dalam hidupku? Banyak tawaran yang menanti tetapi perlu ada keberanian diri untuk mengatakan “tidak” pada tawaran itu.***(Valery Kopong)