Membaca buku “Gereja Warteg” yang merupakan kumpulan tulisan-tulisan terbaik dari hasil lomba menulis yang diselenggarakan oleh panitia, dalam rangka dua ratus tahun Keuskupan Agung Jakarta. Buku ini diterbitkan tahun 2007 oleh Penerbit Obor. Walaupun sudah lama buku ini terbit tetapi tulisan-tulisan yang ada dalam buku itu tetap relevan dan seakan mengingatkan umat akan hidup menggereja. Salah satu tulisan menarik dan tetap relevan adalah tentang “Bunga Altar.” Mengapa tulisan tentang bunga altar menjadi menarik?
Menariknya bunga altar untuk dibahas, bukan karena kembangnya yang selalu menghiasi altar dan memukau umat saat mengikuti perayaan Ekaristi, melainkan ada tindakan pemborosan dalam pembelian bunga altar itu. Tulisan yang termuat dalam buku “Gereja Warteg” berangkat dari sebuah survey sederhana yang dilakukan oleh penulis di Keuskupan Agung Jakarta pada tahun 2007. Tulisan ini memperhadapkan dua hal yang berbeda, yakni pertama, memberi yang terbaik dan indah untuk Tuhan. Kedua, ada tindakan pemborosan dengan membeli bunga yang mahal dan hanya digunakan sesaat saja.
Dalam tulisan tentang “Bunga Altar,” pengeluaran uang paling besar adalah membeli bunga untuk kepentingan pemberkatan nikah di gereja paroki dan juga pada hari-hari raya, seperti Natal dan Paskah. Kalkulasi sederhana pada pengeluaran uang untuk membeli bunga di tahun 2007 pada paroki-paroki di Keuskupan Agung Jakarta dalam kurang waktu setahun mencapai 1 milyar. Memang bunga itu mahal dan kondisi ini harus membuka mata umat supaya mulai jeli untuk memberikan prioritas seperlunya saja. Artinya bahwa bunga altar itu penting tetapi gaya hidup hemat juga menjadi perhatian agar tidak terjebak pada tindakan pemborosan untuk membeli bunga yang mahal dan hanya dipakai beberapa jam saja yang pada akhirnya menjadi sampah di gereja.
Melihat pemborosan yang terjadi ketika berhadapan dengan pembelanjaan bunga altar, menyisahkan sebuah pertanyaan penting bagi kita. Haruskah kita tetap memperlihatkan sikap boros dan yang terpenting adalah memperindah altar dengan bunga-bunga yang mewah? Kita perlu bersikap kreatif menghadapi situasi ini. Memperindah altar menjadi prioritas utama tetapi tidak harus mahal. Dengan bersikap hemat dalam mengelola anggaran untuk bunga, maka anggaran separuhnya bisa diberikan pada mereka yang miskin dan tidak beruntung dalam kehidupan ekonomi. Atau jauh lebih baik jika di setiap paroki mulai digerakan untuk menyiapkan bunga-bunga hidup yang ada di pot dan bisa digunakan untuk menghias altar.
Memahami persoalan bunga altar tentu menggiring kesadaran kita akan nilai lain di balik bunga itu. Dalam memaknai persoalan ini, kita diingatkan teks Injil ini. “Maka Maria mengambil setengah kati minyak narwastu murni yang mahal harganya, lalu meminyaki kaki Yesus dan menyekanya dengan rambutnya; dan bau minyak semerbak di seluruh rumah itu. Tetapi Yudas Iskariot, seorang dari murid-murid Yesus, yang akan segera menyerahkan Dia, berkata: “Mengapa minyak narwastu ini tidak dijual tiga ratus dinar dan uangnya diberikan kepada orang-orang miskin?” Setiap orang pasti memberikan yang terbaik untuk Tuhan tetapi rasa kemanusiaan kita juga terusik, seperti dikatakan oleh Yudas Iskariot bahwa orang miskin juga mendapat perhatian. Gereja terus mewartakan Kristus dan karya-Nya dengan beropsi pada orang-orang miskin. Hanya dengan memperhatikan orang-orang miskin, Gereja menemukan jati diri sesungguhnya. ***(Valery Kopong)