Masa Pra-Paskah dimulai pada Rabu abu yang ditandai dengan penerimaan abu. Selama 40 hari sebelum Paskah, umat Katolik mempersiapkan diri secara baik, membangun sikap metanoia (pertobatan). Mengapa angkat 40 juga dimunculkan kembali pada masa Pra-Paskah ini? Angka 40 mengingkatkan kita akan puasa yang dilakukan oleh Yesus selama 40 hari dengan mengambil tempat di Padang Gurun. Angka 40 juga mengingatkan kita akan Musa, pemimpin Bani Israel, yang berpuasa selama 40 hari sebelum menerima dekalog di atas gunung Sinai.
Dalam masa pra-Paskah ini yang dimulai pada Rabu Abu, tekanan utama ada pada penerimaan abu yang dioleskan pada dahi ataupun di kepala. Dari mana tradisi penerimaan abu ini dimulai? Penggunaan abu dalam liturgi Rabu Abu ini berasal dari Perjanjian Lama, di mana abu menjadi lambang perkabungan, rasa sesal, dan juga pertobatan umat. Pada abad ke-5 SM setelah Yunus berseru supaya orang kembali pada Tuhan dan melakukan pertobatan, Kota Niniwe kemudian memaklumkan puasa serta mengenakan kain kabung menyelubungi dirinya sembari duduk di atas abu.
Sesudah abad pertengahan tersebut, maka gereja memakai abu sebagai tanda dimulainya masa pertobatan Pra Paskah sehingga kita bisa mengingat jika kita tidaklah abadi. Kerapuhan diri dan ketidakberartian manusia di hadapan Allah Sang Pencipta, menjadi titik hening untuk tetap membangun kesadaran pada masa Pra-Paskah ini, yang tidak lain adalah sebuah retret agung. Pada Rabu abu ini, kita kembali diingat untuk tetap memangku sesal dan berusaha membangun rasa tobat, ketika kita diingatkan, “engkau berasal dari debu dan akan kembali menjadi debu,” atau “Bertobatlah dan percayalah kepada Injil.” (Valery)