
Mendampingi anak-anak calon komuni di era pandemi memang terasa berbeda dari pertemuan rutin calon komuni di masa sebelum pandemi. Banyak materi komuni yang dipaparkan secara daring kepada anak-anak, rasanya belum terserap semua. Ada sesuatu yang hilang di sini karena ketika pertemuan secara daring, konsentrasi mereka terbagi, antara mendengarkan dan juga sambil melakukan kegiatan lain.

Materi-materi boleh dipaparkan secara daring tetapi untuk melatih anak-anak untuk bagaimana mengakukan dosa, harus dilakukan secara langsung sebagai bagian dari proses persiapan yang matang. Hari ini, Sabtu, 14 Mei 2022, anak-anak calon komuni pertama dari wilayah Bernardus dibagi ke dalam dua kelompok dan dua pembimbing. Penulis sendiri sebagai pendamping, melatih anak-anak mengaku dosa untuk satu kelompok, sedangkan Bapak Emilianus Fredy Laka juga menangani latihan mengaku dosa pada jam yang sama, hanya tempat yang berbeda.
Dalam proses persiapan itu, anak-anak disuruh untuk menghafal doa tobat dan tata cara pengakuan dosa. Anak-anak dikasih waktu untuk menghafal doa tobat dan doa-doa pokok Gereja lainnya serta tata cara pengakuan dosa. Ada hal menarik yang perlu menjadi perhatian setiap orang Katolik atas pertanyaan yang muncul dari peserta calon komuni pertama. Untuk apa mengaku dosa dan apa manfaat dari pengakuan dosa itu?
Pertanyaan sederhana di atas menjadi sebuah pertanyaan lumrah tetapi memiliki esensi nilai yang mendalam. Pertobatan menjadi bagian penting dalam upaya penyadaran diri akan dosa yang pernah dilakukan dan juga melalui sakramen tobat, si pendosa bisa berada kembali pada pangkuan Allah yang Maharahim. Dalam Injil Lukas 15:11-32, mengisahkan anak yang hilang. Kisah anak bungsu dan anak sulung jika ditafsir dalam terang refleksi teologi akan memberikan makna secara mendalam tentang arti di balik pertobatan.
Pertobatan tidak hanya dimengerti sekedar berbalik kepada Allah tetapi juga dibarengi dengan sikap tobat dan niat murni untuk tidak melakukan kesalahan yang sama. Kisah anak bungsu telah meminta sebagian hartanya dan kemudian pergi memboroskan hartanya bersama para pelacur di tempat perantauan, memberikan makna titik balik dalam sejarah perjalanan hidup si bungsu. Dalam kondisi di mana masih ada uang dan diliputi kegembiraan, ia tidak memikirkan bapa dan saudaranya di rumah. Tetapi ketika ia mengalami keterpurukan hidup dan kehilangan martabatnya sebagai manusia saat memakan makanan babi, disitulah kesadaran untuk berbalik mulai muncul.
“….aku telah berdosa terhadap sorga dan terhadap bapa, aku tidak layak lagi disebut anak bapa; jadikan aku sebagai salah seorang upahan bapa.” Penggalan teks ini menggambarkan begitu dalam penyesalan akan kesalahan yang telah dilakukannya. Si bungsu tidak hanya menyesal tetapi bangkit kembali untuk meniti jalan pulang ke rumah bapanya. Titik temu ini merupakan kesempatan berharga baginya untuk berjumpa dengan bapanya. Figur seorang bapa yang baik adalah ia yang tidak mengingat kesalahan masa lampau yang dilakukan oleh anaknya sendiri tetapi berusaha untuk merangkul kembali anaknya yang sudah bertobat untuk masuk dalam “rumah pertobatan” dan berbalik pada jalan yang benar.
Anak yang hilang didapatkan kembali dan bapa yang baik merayakan pesta penerimaan dan pemulihan martabat manusia. Tetapi di tengah hingar bingar pesta itu, ada reaksi yang berbeda dari si sulung yang barusan kembali dari ladang. Ia tidak masuk dalam ruang pesta tetapi mengutuk adiknya yang setelah menghamburkan uang dan kembali ke rumah, malah dipestakan. Figur anak sulung mewakili orang iri hati yang tidak mau melihat pertobatan orang lain. Stigma akan kejelekan orang lain bagi si sulung adalah tak akan terhapus dari esensi pertobatan yang dibangun oleh si pendosa.
Ruang pengakuan dosa yang akan dilalui oleh para calon komuni pertama sebagai “ruang pertama” di mana mereka boleh mengungkapkan kesalahan-kesalahan yang dilakukan selama ini. Anak-anak calon komuni pertama dan umat Katolik secara keseluruhan percaya bahwa di ruang pengakuan itu, setiap orang dengan bebas dan rahasia mengakui segala salah dan dosanya. Dengan demikian setelah mengakui segala salah dan dosa akan mengalami kelegaan hidup. Ruang pengakuan dosa merupakan “ruang pembersihan diri (purifikasi)” dan pada akhirnya kita kembali menjadi anak-anak Allah yang telah dibebaskan dari dosa.***(Valery Kopong)