Hari Raya Kamis Putih atau Maundy Thursday yang dirayakan di Gereja St. Gregorius Agung menjadi momen pengenangan akan perjamuan malam terakhir bersama Yesus, sebelum Ia menyerahkan diri-Nya demi keselamatan manusia. Dalam perjamuan tersebut, Yesus menunjukkan kasih dan pelayanan-Nya secara nyata dengan membasuh kaki para murid-Nya. Pembasuhan kaki ini menjadi simbol kekosongan, kerendahan hati, dan bentuk pelayanan Yesus kepada murid-Nya , begitu pun kita diundang untuk melayani dan merendahkan diri di hadapan sesama.
Ekaristi merupakan tradisi yang diwariskan langsung oleh Yesus kepada para murid-Nya, dan kini kepada kita semua. Ketika kita merayakan Ekaristi sebagaimana yang dikatakan-Nya, “Lakukanlah ini sebagai kenangan akan Daku” kita sedang mengenangkan kehadiran Yesus yang hidup dan nyata di tengah-tengah kita , termasuk di Gereja St. Gregorius Agung. Maka, dengan merayakan Ekaristi, kita pun dipanggil untuk menjadi pribadi yang penuh, yang hidup dalam syukur, kasih, dan pengabdian. “Piala syukur ini adalah persekutuan dengan darah Kristus” sebuah wujud nyata bahwa dalam setiap Ekaristi, kita tidak hanya mengenang, tetapi juga mengalami kembali kasih pengorbanan-Nya.
Dalam khotbahnya, Romo Diaz mengingatkan bahwa warna putih adalah lambang kesucian, mengajak kita untuk mengenang kembali saat penciptaan di mana manusia masih putih bersih. Namun, dalam perjalanan hidup, kesucian itu ternoda oleh dosa. Kamis Putih menjadi pengingat akan hilangnya kesucian itu dan ditebus oleh Yesus pada Jumat Agung melalui salib. Injil mencatat, “Aku telah memberikan suatu teladan padamu, supaya kamu juga berbuat seperti yang Aku perbuat padamu” (Yohanes 13:15) suatu ajakan langsung dari Kristus untuk meneladani kasih, kerendahan hati, dan pengorbanan-Nya dalam hidup kita sehari-hari. Tahun ini, ada yang berbeda dalam perayaan Kamis Putih: pembasuhan kaki dilakukan oleh Romo kepada beberapa anak difabel atau Different Ability , sebagai simbol bahwa semua orang, tanpa terkecuali, layak dikasihi dan dilayani.
Sebagai penutup, dalam misa pertama pukul 18.00, Romo Salto menyampaikan pesan bahwa pelayanan yang dilakukan Yesus merupakan suatu model kepemimpinan: to lead with humility . Hanya orang yang penuh dengan syukur yang dapat bersikap rendah hati. Karena ia tidak sibuk memikirkan dirinya sendiri, maka hatinya terarah pada sesama dan tidak haus akan validasi eksternal seperti pujian.
Pesan tersebut menjadi pengingat bagi kita semua, bahwa menjadi murid Kristus berarti menjadi pemimpin yang melayani, bukan dilayani. Pelayanan pun dapat dilakukan kapan pun dan di mana pun tidak terbatas di altar. Contoh paling sederhana dan nyata justru dimulai dalam keluarga kita masing-masing: ketika orang tua berusaha hadir dalam setiap momen penting anak-anak mereka, dan anak-anak pun senantiasa berbuat baik serta menunjukkan hormat kepada orang tuanya. Semua bentuk pelayanan ini, besar ataupun kecil, jika dilakukan dengan kasih dan kerendahan hati, menjadi cerminan nyata dari teladan Kristus sendiri. Tuhan memberkati
-Gaby