Sebuah pengalaman kecil. Isteri dari teman saya baru saja melahirkan anaknya. Ketika melahirkan anak pertama, saya ucapkan proficiat. Saya kemudian menanyakan bayinya laki-laki atau perempuan? Dengan nada datar dan biasa saja dia menjawab “bayinya Perempuan.” Selang beberapa tahun kemudian, istrinya melahirkan anak kedua. Saya ucapkan proficiat dan iseng-iseng saya tanya lagi, anaknya perempuan atau laki-laki? Di luar dugaan dengan lantang mengucapkan, “laki-laki” pak! Sambil bercanda saya sedikit meledek, waktu lahir anak pertama engkau sedikit lesu menjawab pertanyaan saya. Sekarang waktu lahir anak kedua berjenis kelamin laki-laki, engkau menjawab dengan penuh lantang dan sukacita! Inilah cerita kita yang hidup dalam kultur patriarkhal.
Saya sengaja memilih Bacaan I hari ini dari I Sam 1:9-20 karena secara luar biasa menampilkan kisah perjuangan rohani seorang wanita bernama Hana di bait suci Tuhan, dengan intensi supaya bisa mendapatkan seorang anak bagi Elkana, dengan disaksikan imam Eli.Pada awal pernikahannya, Hana mungkin merasa hidupnya bahagia. Elkana, suaminya, tampaknya bukan seorang laki-laki biasa. Dia berasal dari keluarga yang kaya dan terpandang. Silsilah keluarga menyiratkan kehormatan keluarga Elkana. Elkana bukan hanya kaya, tetapi penuh dengan cinta. Elkana memberikan porsi lebih untuk Hana (1:5). Dia selalu berusaha menghibur hati isterinya Hana yang sedang berduka (1:8). Sebuah keluarga bukan hanya tentang cinta dan harta kekayaan. Hana paling memahami betapa tidak berharganya cinta dan harta apabila keluarga sedang tertimpa banyak prahara. Hana tidak bisa memiliki keturunan. Dia mandul (1:2). Bagi Hana dan masyarakat kuno pada waktu itu, kemandulan bukanlah sebuah persoalan yang gampang. Kemandulan bahkan bisa dipandang sebagai salah satu persoalan yang terbesar bagi seorang perempuan. Kemandulan berarti tidak ada masa depan. Tanpa anak laki-laki berarti sebuah nama keluarga akan lenyap. Kekayaan yang dikumpulkan tidak bisa dipertahankan sesuai harapan. Kemandulan istri pertama membuka peluang besar bagi suami mengambil isteri tambahan. Elkana ambil peluang ini dengan ambil Penina sebagai istri kedua dan mempunyai anak.
Yang lebih parah, pernyataan Elkana terkesan egosentris dan tidak secara baik memahami keadaan istrinya.. Elkana tampaknya tidak tahu cara terbaik untuk mengungkapkan cintanya. Yang diutamakan adalah keberhargaan dirinya sendiri “Bukankah aku lebih berharga bagi bagimu daripada sepuluh anak laki-laki?” Bukankah akan lebih menghibur bagi Hana apabila Elkana berkata: “Bukankah
engkau lebih berharga bagiku daripada sepuluh anak laki-laki?”. Hana tidak meragukan cinta Elkana. Namun, persoalan Hana tidak mungkin diselesaikan hanya dengan cinta. Tidak memiliki masa depan. Diduakan dan menghadapi penghinaan. Tidak dipahami oleh suami. Ternyata semua ini belum cukup bagi Hana. Kehadiran Hana waktu berdoa di bait suci Tuhan disalahmengerti oleh Eli, imam dan hamba TUHAN yang mengepalai rumah TUHAN di Silo. Imam Eli mengira Hana hanyalah seorang perempuan dursila yang suka bermabuk-mabukan (1:12-14). Hana hanya akan mengotori rumah TUHAN.
Hana berani mencari solusi!
Bagaimana Hana berdoa di hadapan Allah? Mempunyai intensi atau permintaan yang jelas, dengan hati pedih Hana berdoa kepada Tuhan, sambil menangis tersedu-sedu, sambil bernazar / bersumpah di hadapan Allah, terus menerus berdoa dengan mulut dan berdoa dalam hatinya, berdoa dengan waktu yang lama. Hana sangat bersusah hati, ia mencurahkan isi hati di hadapan Tuhan (1:15). Hana berdoa dengan ketulusan. Kata “hati” muncul beberapa kali dalam kisah ini. Penina menyakiti hati Hana (1:7, 15). Hana mengungkapkan kepedihan dan isi hatinya kepada TUHAN (1:10, 15). Dia berdoa di dalam hati (1:13). Berdoa dengan hati berarti tidak menutupi perasaan kita. Hana juga berdoa dengan kerendahhatian. Dia menyadari bahwa Allah adalah Tuhan semesta alam (1:11). Artinya, Dia adalah Allah Yang Mahakuasa. Hana menyebut dirinya sebagai “hamba” (1:11). Hana juga berdoa dengan iman. Dari kisah yang ada, imam Eli tampaknya tidak (belum) mengetahui isi doa Hana. Namun, dia sudah meyakinkan Hana bahwa Allah akan mengabulkan doanya (1:17) Hana” berarti “kasih karunia”, tetapi hidupnya terlihat penuh duka nestapa.
Imam Eli sebagai saksi dan pengamat bagaimana Hana berdoa di hadapan Allah: Hana berdoa terus menerus, mengamati mulut dan hanya bibirnya saja bergerak-gerak, suaranya tidak kedengaran. Maka Eli bilang Hana lagi mabuk. Akhirnya imam Eli katakana, “Pergilah dengan selamat dan Allah akan memberikan apa yang engkau minta dari padaNya”. Akhirnya doa Hana terkabul setahun kemudian dengan melahirkan seorang anak laki-laki yang diberi nama Samuel, yang mempunyai arti “Aku telah memintanya pada Tuhan.” Hana mendapatkan banyak penghiburan seumur hidupnya.
Kisah Hana memberi inspirasi adanya komitmen dalam kehidupan doa di hadapan Tuhan. Kalau mau berdoa harus memenuhi beberapa hal yang perlu:
- Jangan meratap sendiri. Membawa persoalan ke hadapan Tuhan.
- Membuat intensi atau niat berdoa yang spesifik dan jelas
- Sikap berdoa yang benar-benar sepenuh hati di hadapan Tuhan. (Penuh kerendahan hati.)
- Berdoa dengan tekun penuh iman dalam hati yang tulus / doa batin.
- Berdoa dengan ikhlas, doa terus menerus, berulang ulang.
Berdoa terus menerus dalam batin berarti menyerukan nama-Nya yang kudus secara terus-menerus tanpa kunjung putus, menyerukannya dengan mulut, dengan roh dan dengan hati, menyadari kehadiraNya yang tetap dan mohon bantuan rahmatNya dalam segala kesibukan kita.
- Hana menyatakan syukur kepada Tuhan yang telah memberi solusi bagi hidup keluarganya. Memberi nama anaknys sesuai kondisi hatinya..Samuel, aku telah meminta dari pada-
Ingat nasihat Rasul Paulus : “Tetaplah berdoa” (I Tes 5:17). Dinasihatkan Santo Paulus supaya berdoa tak kunjung putus. “Pertama-tama kunasihatkan; adakanlah doa-doa” (I Tim2:1)
Mari menggali harta terpendam dalam tradisi hidup berdoa Kristiani. Mencoba spiritualitas yang memusatkan perhatiannya pada “hesikhia”, diam, kesunyian, ketenangan lahir batin sebagai sarana untuk menyelam ke dalam doa batin bersama Tuhan.
Mungkin kita juga pernah berada dalam situasi yang sama. Persoalan Hana bisa saja menjadi persoalan pastoral dalam hidup keluarga Katolik saat ini. Ada persoalan berat di rumah. Suami tidak bisa memahami. Gembala Tuhan belum secara maksimal memberikan pertolongan. Kesalahpahaman-kesalahpahaman seperti ini jelas sangat menyakitkan. Tapi mari kita mengikuti metode Hana yang dengan tekun mencari solusi di hadapan Tuhan. Ini perlu perjuangan dan ketekunan.*** (Yoakim Lawa)